Latest News

Ingin bisa menulis? Silakan ikuti program training menulis cepat yang dipandu langsung oleh dosen, penulis buku, peneliti, wartawan, guru. Silakan hubungi 08562674799 atau klik DI SINI

Thursday 27 April 2017

Bangsa yang Kurang Membaca



Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan ini dimuat di Tribun Jateng, Rabu 4 April 2017

Bangsa berkualitas adalah yang budaya bacanya tinggi. Negara Amerika, Kanada, Jepang, bisa maju karena masyarakatnya rajin membaca dan “memanusiakan buku”. Sementara di Indonesia, buku, skripsi, tesis, dan disertasi dijual ke tukang rosokan, koran juga dijual untuk bungkus nasi kucing. Budaya ini sangat “menistakan” ilmu pengetahuan. Bagaimana bangsa bisa maju jika ilmu pengetahuan dinistakan?

Kualitas sumber daya manusia (SDM) selain ditopang pendidikan juga ditentukan budaya baca. Banyak kaum akademik mengalami “stagnasi intelektual” karena merasa pintar dan tak melestarikan budaya baca. Jika kaum akademik saja bisa stagnan, lalu bagaimana masyarakat biasa?

Kecerdasan seorang tak ditentukan pendidikan yang ditempuh, melainkan dari budaya baca. Maka, sekolah tidak sekolah, masyarakat harus memastikan ia harus “membaca” agar mendapat ilmu pengetahuan. Sebab, belajar bisa di mana saja dan tak terikat lembaga formal.

Budaya modern menjadikan masyarakat tidak “memanusiakan” buku, koran, majalah, kitab suci bahkan “rambu-rambu” lalu lintas. Lantaran kurang “jeli” dan tak membaca, maka banyak yang melanggar aturan lalu lintas, padahal sudah ada rambu-rambunya. Artinya, pesan singkat di jalan raya saja amat penting, apalagi yang dibaca buku dan koran, pasti mencerahkan.

Peradaban Medsos
Era digital menggiring masyarakat lebih intens menonton televisi, bermain game, dan media sosial (medsos), baik itu Fecebook, Twitter, Instagram, dan layanan pesan seperti WhatsApp, Blackberry Messenger, Line dan lainnya. Pengguna Facebook di Indonesia pada 2015 mencapai 82 juta orang dan sampai Oktober 2016 mencapai 88 juta pengguna. Sementara pengguna WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna, Messenger sebanyak 1 miliar dan Instagram sebanyak 500 juta pengguna (Kompas, 20/10/2016).

Data tersebut menunjukkan bangsa ini dalam “peradaban medsos”. Ironisnya, budaya membaca di Indonesia rendah. Hasil survei Central Connecticut State University menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara terkait minat baca.

Budaya baca anak-anak juga rendah karena kalah dengan budaya menonton televisi. USAID Prioritas pada Maret 2016 merillis rata-rata orang Indonesia melihat televisi perhari selama 300 menit, padahal di negara maju hanya 60 menit. Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 tentang kemampuan membaca siswa juga menyebutkan kemampuan membaca siswa di Indonesia berada di urutan ke-69 dari 76 negara yang disurvei.

Dunia modern disikapi “berlebihan” oleh masyarakat. Padahal, alat-alat modern bisa menyimpan file-file berupa e-book, e-paper, e-journal, dan lainnya. Namun, membaca buku, majalah, koran, jurnal lebih nyaman daripada membaca file di layar ponsel.

Pemerintah melalui Kemendikbud telah merespon hal itu. Sebab, minimnya kemampuan literasi pelajar menghambat proses pembelajaran dan peningkatan kualitas pendidikan. Maka Kemendikbud tak lama ini mengeluarkan peraturan membaca 15 menit di awal pembelajaran sebagai wahana penumbuhan budi pekerti. Budaya baca menopang peradaban bangsa, baik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan sains. Tanpa ada “kutu buku”, Indonesia dipastikan menjadi terbelakang.

Bulan April selain dirayakan sebagai “bulan Kartini” juga diperingati sebagai “bulan buku” karena tanggal 23 April 2017 ini dirayakan Hari Buku Sedunia. Di bulan April, banyak kegiatan mengampanyekan budaya baca, mulai dari pameran/bazar buku, donor buku, lomba menulis, baca puisi dan lainnya. Kegiatan ini harus disambut baik untuk menggampanyekan budaya baca.

Literasi Membaca
Dalam teori catur tunggal bahasa, membaca hanya bagian dari keterampilan berbahasa. Tarigan (1990: 1) menjelaskan keterampilan berbahasa (languange skills) meliputi empat aspek, yaitu keterampilan menyimak/mendengarkan (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills) dan keterampilan menulis (writing skills). Keempat aspek itu menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dan kemampuan membaca merupakan dasar menguasai berbagai ilmu.

Selama ini “gerakan literasi” bergelora di mana-mana. Namun, kebanyakan orang menganggap literasi hanya membaca. Padahal, literasi sangat kompleks, bisa berupa ilmu dan praktik. Lipton dan Hubble (2016:13) menjelaskan literasi dikategorikan secara ilmu dan secara praktis/karya literasi. Literasi bermakna lebih luas dari kemampuan elementer membaca, menulis dan berhitung. Namun, literasi dalam pengertian modern mencakup kemampuan berbahasa, berhitung, memaknai gambar, melek komputer dan upaya mendapatkan ilmu pengetahuan.

Di abad milenium ini, budaya medsos, serangan berita hoax dan fake melahirkan “generasi milenial” yang mudah kagum dan bosan. Mereka instan, tak mau belajar “ilmu membaca” dan “karya baca”. Padahal, gempuran modernisasi mengharuskan kita menjadi “pembelajar literasi”.

Budaya baca harus dimulai dari kalangan terdidik. Di sekolah/kampus, guru dan dosen harus mengajak pelajar dan mahasiswa membaca buku, koran, karya sastra, dan menonton video. Setelah dibaca dan dilihat, mereka diajak diskusi agar tercipta pemahaman dari objek bacaan.

Lembaga pendidikan dan pemerintah harus memberikan “edukasi baca” dan kampanye “budaya literasi”. Membaca menurut Haryadi (2008: 184) dikelompokkan menjadi tiga, yaitu model, metode dan teknik membaca. Ketiganya bisa diterapkan untuk mendorong minat baca, karena membaca butuh kemampuan.

Menjadi pembaca baik dan kritis harus paham perbedaan model, metode dan teknik membaca. Masing-masing memiliki perbedaan dasar, karena tujuan, konsep dan caranya beda. Jika hal itu dipahami, maka membaca berita hoax seperti apapun, masyarakat tak mudah diadu domba.

Prinsip “humanisme ekonomi” harus diterapkan. Artinya, masyarakat tak sekadar mementingkan “memberi makan” ponsel karena harus membeli “kuota internet” tiap minggu. Uang itu jika dibelikan buku pasti dapat banyak, apalagi saat pameran/bazar karena harganya lebih murah.

Menjadi “kutu buku” atau “kutu medsos” adalah pilihan. Kutu buku bisa mengubah dunia lewat pengetahuannya, namun sudahkah ada kutu medsos yang bisa mengubah dunia?

Foto:


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Bangsa yang Kurang Membaca Rating: 5 Reviewed By: Hamidulloh Ibda